Ratusan karyawan Freeport unjuk rasa di bilangan patung kuda Monas, Selasa (7/3). (Foto : VoA) |
Permasalahan perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia dalam sebulan terakhir semakin menarik saja. Hiruk pikuk pemberitaannya hampir setiap hari menjadi hiasan laman berita dan tayangan televisi di tanah air bahkan mancanegara.
Silih ganti kepentingan di dalamnya. Sejumlah 250 orang karyawan PT Freeport hari Selasa (7/3) melakukan aksi unjuk rasa menuntut pemerintah agar tidak memaksakan perubahan Kontrak Karya (KK) ke Izin Usaha Khusus Pertambangan (IUPK). Aksi mereka itu terjadi di bilangan Patung Kuda, Monumen Nasional, Jakarta Pusat.
Koordinator Gerakan Solidaritas Peduli Freeport, Maikel Adi, mengatakan para pendemo ini seluruhnya datang langsung dari Kabupaten Mimika. Menurutnya, para pekerja Freeport saat ini sudah banyak yang dirumahkan lantaran terhambatnya ekspor konsentrat dan ketidakpastian investasi.
"Kami kontribusi pada negara, jangan hanya bicara pada kepentingan negara saja. Tapi juga pikirkan kepentingan rakyat di Freeport," kata Maikel.
Sementara itu, tak jauh dari lokasi aksi karyawan Freeport juga digelar aksi tandingan yang dilakukan Gerakan Mahasiswa Indonesia Timur Bersatu. Berbeda dengan tuntutan karyawan Freeport, para mahasiswa ini meminta pemerintah menasionalisasi tambang Freeport 100%.
"Tambang Grasberg Papua merupakan kekayaan alam Indonesia, yang semestinya dikelola sendiri oleh Bangsa Indonesia," kata El Hakim, Koordinator Aksi Mahasiwa Indonesia Timur.
Tarik ulur masalah kontrak Freeport dengan pemerintah ini memang sedikit menimbulkan suasana yang panas. Pemerintah bertahan menyodorkan skema IUPK dan mewajibkan Freeport mendivestasi 51% sahamnya. Sementara Freeport bergeming dengan posisi kontrak karya, namun menolak kewajiban divestasi 51% sahamnya.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan, menegaskan pemerintah harus tetap meminta saham PT Freeport Indonesia atau divestasi sebesar 51%. Ia mengatakan, kewajiban Freeport untuk divestasi sebesar 51% telah tertera dalam Kontrak Karya (KK) yang telah disepakati.
"Kita tetap (minta 51%), karena kalau dari awal kontrak sebenarnya sudah segitu," kata Luhut, di kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Jakarta, Senin (6/3).
Rencananya, perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bakal melakukan investasi di Freeport. Ia pun mengatakan, pemerintah saat ini telah bersikap transparan kepada Freeport.
"Harus diketahui, Indonesia ini sudah terlalu transparan, makin terbuka dan tidak bisa ada negosiasi, saya pikir penyelesaian business to business," kata Luhut.
Ia pun mengatakan, supaya permasalahan pemerintah dengan Freeport terkait dengan pelepasan saham tidak perlu diributkan, karena malah bisa merugikan kedua belah pihak.
"Jadi kita enggak usah terlalu ramailah, saya kira tidak ada orang yang mau ribut-ribut. Kan ribut semua rugi tidak ada yang untung, jadi kita mau selesaikan baik-baik," tutup Luhut.
Hal senada juga disampaikan Staf Khusus Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin. Dia menerangkan, pelepasan saham wajib dilakukan sesuai dengan aturan yang telah disepakati antara pemerintah dan Freeport Indonesia. Berdasarkan Kontrak Karya (KK), Freeport harusnya sudah melepaskan saham sebesar 51% kepada pihak nasional sejak 2011 lalu.
"Freeport kalau KK di pasal 24 yang ditandatangani 30 Desember 1991, secara jelas disebutkan bahwa Freeport harus divestasi 51% dari sahamnya. Atau kalau melakukan listing 20% dari sahamnya, divestasi 45% ke Indonesia paling lambat 20 tahun setelah KK ditandatangani 30 Desember 1991. Jadi seharusnya berkewajiban 51% di 2011 kalau berdasarkan Kontrak Karya, tapi tidak terjadi," kata Budi saat acara Bincang Santai di Kawasan Sunda Kelapa, Jakarta, Jumat (3/3).
Sedangkan jika dalam format IUPK, kata Budi, yang mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 di mana pada pasal 97 Ayat (2) disebutkan bahwa setelah berproduksi selama 10 tahun perusahaan tambang asing pemegang IUPK wajib divestasi saham sebesar 51%. "Jadi kalau memilih landasan KK mereka sudah wajib 51%, kalau IUPK maka mereka juga sudah wajib divestasi 51%," tambahnya.
Sejatinya persoalan Freeport tidak saja mengenai perpanjangan kontrak ataukah IUPK. Sejak lama persoalan HAM dan lingkungan sudah menjadi perhatian penggiat di tanah air. Salah satu yang menyuarakannya adalah JATAM. Jaringan Advokasi Tambang.
Mai Jebing, Koordator JATAM pernah mengungkap betapa persoalan HAM warga suku asli yang mendiami bumi Papua yang dijadikan pertambangan Freeport belum diperhatikan dan dinisbikan. Begitu pula imbas terhadap bahaya lingkungan dari aktivitas pertambangan Freeport itu.