TPS "liar" yang terletak di jalan utama dikeluhkan warga. |
Salah satu pengelolaan sampah yang terjadi di jalan Bintara Jaya VIII Kampung Setu, Kelurahan Bintara Jaya, Bekasi Barat.
TPS yang terletak di jalan utama tersebut dinilai meresahkan dan sudah banyak warga sekitar TPS tersebut yang keberatan.
Seperti diungkap oleh salah satu warga di dekat TPS liar itu, Agus, bahwa kehadiran TPS tersebut menimbulkan bau yang tidak sedap dan pemandangan kumuh. Lebih lanjut Agus mengatakan, TPS liar itu berada tak jauh dari komplek perumahan, yakni Bintara Jaya Village 1, 2, dan 3 serta Kampung Setu RT.01 dan RT.03.
Hal tersebut menjadi persoalan tersendiri, dan warga mengeluhkan munculnya luapan sampah ketika hujan. Selain itu, sampah tersebut berserakan dan terbawa ke aliran sungai yang ada di dekat permukiman tersebut bila hujan.
Menanggapi persoalan ini, sejatinya Pemerintah Kota Bekasi sudah memiliki aturan khusus yakni Perda Nomor 10 Tahun 2011 tentang Ketentuan Umum Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan dimana pengelolaan sampah harus memperhatikan lingkungan dan kesehatan masyarakat sekitar.
Dalam perda itu, Pemda berkewajiban menyelenggarakan pengelolaan sampah kawasan maupun skala kota yang aman bagi kesehatan dan lingkungan (Pasal 28 angka 2 Perda 10/2011).
Terhadap persoalan TPS liar di Jalan Bintara Jaya VIII tersebut, Lurah Bintara Jaya Ani Sri Kustiani sudah berjanji kepada salah satu perwakilan warga bahwa pihaknya akan merelokasi TPS ilegal tersebut.
Dari pantaun di lapangan, janji tersebut masih perlu direalisasikan. Pasalnya, masih saja daerah tersebut masih menggunung tumpukan sampahnya meskipun hampir setiap hari terlihat ada truk pengangkut sampah dari dinas kebersihan yang datang untuk mengangkutnya.
TPS liar yang ada di Jalan Bintara Jaya VIII Kampung Setu, Bintara Jaya, Bekasi Barat, Kota Bekasi belum juga direlokasi. |
Pengelolaan Sampah, Inilah Aturannya
Pengelolaan sampah merupakan persoalan tersendiri dalam pembangunan daerah. Sehabat apapun daerah, bila pengelolaan sampahnya amburadul maka akan menjadi kendala tersendiri terhadap kemajuan daerah itu.
Persoalan sampah antara Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah Kabupaten Bekasi merupakan contoh yang dipertontonkan ke publik. Betapa persoalan sampah bukanlah hal sepele.
Berton-ton sampah dihasilkan tiap hari. Setiap hari itu pula pengelola sampah harus berjibaku mengatur agar sampah itu terurus dengan baik.
Pengelolaan sampah hingga saat ini masih menganut sistem lama, yakni pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan. Ujung dari sistem ini adalah pembuangan ke tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST).
Krisis pengelolaan sampah tidak hanya terjadi di kota besar seperti Jakarta, juga daerah lain. Namun, yang terekspose ke permukaan lebih banyak di metropolitan, karena merupakan "barometer" dari pembangunan kota lainnya.
Persoalan sampah ini bahkan sampai ke tingkat pemerintahan yang paling kecil, Rukun Tetangga. Terutama di Jabodetabek, diindikasikan masih belum tertangani dengan baik dan masih cenderung abai terhadap persoalan lingkungan.
Penyelenggaraan pengelolaan sampah yang dilakukan pemda selama ini sebagian besar belum sesuai dengan metode dan teknik pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan, sehingga berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan. Apalagi pengelolaan sampah dengan menggunakan metode pembuangan sampah secara terbuka (open dumping) jelas-jelas bertentangan dengan teknik penanganan sampah yang berwawasan lingkungan.
Saat ini telah berlaku Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UU Pengelolaan Sampah), yang di dalammnya tidak saja mengatur bagaimana pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan, tetapi juga mengatur bagaimana tugas dan wewenang pemerintah dan pemda, peran serta masyarakat, larangan, bahkan terdapat sanksi pidananya.
Untuk itu, perlu diketahui bagaimana konsep penyelenggaraan pengelolaan sampah menurut UU Pengelolaan Sampah, faktor- faktor apa saja yang menghambat implementasi UU dimaksud, serta bagaimana alternative penyelesaian polemik pengelolaan sampah ini dimasa yang akan datang.
UU Pengelolaan Sampah, yang merupakan dasar hukum tertinggi bagi pengelolaan sampah di Indonesia serta sebagai dasar hukum bagi kejelasan tanggungjawab pemerintah dan pemda serta peran masyarakat dalam pengelolaan sampah.
Adapun beberapa substansi penting di dalam UU Pengelolaan Sampah meliputi:
Pertama, pengurangan dan penanganan sampah, pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis rumah tangga dilakukan melalui usaha-usaha pengurangan dan penanganan sampah (Pasal 19 UU Pengelolaan Sampah). Pengurangan sampah tersebut dilakukan melalui kegiatan pembatasan timbulan sampah; pendauran ulang sampah; dan/atau pemanfaatan kembali sampah (Pasal 20 ayat (1) UU Pengelolaan Sampah) yang saat ini lebih dikenal melalui konsep 3 R (reduce, reuse, recycle).
Hal itu tidak saja dilakukan oleh pemerintah dan pemda, tetapi harus juga dilakukan bersama-sama dengan masyarakat dan pelaku usaha. Adapun penanganan sampah dilakukan melalui usaha-usaha pemilahan; pengumpulan; pengangkutan; pengolahan; dan/atau pemrosesan akhir sampah (Pasal 22 ayat (1) UU Pengelolaan Sampah).
Kedua, pembiayaan dan kompensasi, pemerintah dan pemda wajib membiayai penyelenggaraan pengelolaan sampah, yang bersumber dari APBN dan APBD (Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UU Pengelolaan Sampah). Pemerintah dan pemda secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dapat memberikan kompensasi kepada orang sebagai akibat dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan penanganan sampah di tempat pemrosesan akhir sampah, berupa: relokasi; pemulihan lingkungan; biaya kesehatan dan pengobatan; dan/atau kompensasi dalam bentuk lain (Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) UU Pengelolaan Sampah).
Ketiga, kerjasama dan kemitraan, pemda dapat melakukan kerja sama antarpemda dalam melakukan pengelolaan sampah, yang dapat diwujudkan dalam bentuk kerja sama dan/atau pembuatan usaha bersama pengelolaan sampah (Pasal 26 UU Pengelolaan Sampah). Pemda kabupaten/kota secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dapat bermitra dengan badan usaha pengelolaan sampah dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah, yang dituangkan dalam bentuk perjanjian antara pemda kabupaten/kota dan badan usaha yang bersangkutan (Pasal 27 UU Pengelolaan Sampah).
Keempat, peran masyarakat, masyarakat dapat berperan dalam pengelolaan sampah yang diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemda, yang dilakukan melalui: pemberian usul, pertimbangan, dan saran; perumusan kebijakan pengelolaan sampah; dan/atau pemberian saran dan pendapat dalam penyelesaian sengketa persampahan (Pasal 28 UU Pengelolaan Sampah).
Kelima, larangan sanksi pidana, dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah setiap orang dilarang: memasukkan sampah ke dalam wilayah NKRI; mengimpor sampah; mencampur sampah dengan limbah berbahaya dan beracun; mengelola sampah yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan; membuang sampah tidak pada tempat yang telah ditentukan dan disediakan; melakukan penanganan sampah dengan pembuangan terbuka di tempat pemrosesan akhir; dan/atau membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah (Pasal 29 UU Pengelolaan Sampah). Adapun pelanggaran terhadap larangan-larangan dimaksud diancam pidana paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun, adapun denda paling sedikit 100 (seratus) juta rupiah dan paling banyak 5 (lima) milyard (Pasal 39 sampai dengan Pasal 43
UU Pengelolaan Sampah).
Keenam, pengawasan, pengawasan terhadap kebijakan pengelolaan sampah oleh pemda dilakukan oleh Pemerintah, pengawasan pelaksanaan pengelolaan sampah pada tingkat kabupaten/kota dilakukan oleh gubernur, dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pengelola sampah dilakukan oleh pemda, baik secara sendiri- sendiri maupun secara bersama-sama. Pengawasan yang dilakukan oleh pemda dilakukan dengan didasarkan pada norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan yang diatur oleh pemerintah (Pasal 30 dan Pasal 31 UU Pengelolaan Sampah).
Ketujuh, ketentuan peralihan, pemda harus membuat perencanaan penutupan TPA sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka (open dumping) paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak berlakunya UU Pengelolaan Sampah. Setelah itu, pemda harus menutup tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak berlakunya UU Pengelolaan Sampah (Pasal 44 UU Pengelolaan Sampah). Pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya yang belum memiliki fasilitas pemilahan sampah pada saat diundangkannya UU Pengelolaan Sampah ini wajib membangun atau menyediakan fasilitas pemilahan sampah paling lama 1 (satu) tahun (Pasal 45 UU Pengelolaan Sampah).
Kemudian setiap pemda harus menutup TPA yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lambat 7 Mei 2013. Selain itu, pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya yang belum memiliki fasilitas pemilahan sampah pada saat diundangkannya UU Pengelolaan Sampah ini, wajib membangun atau menyediakan fasilitas pemilahan sampah paling lambat tanggal 7 Mei 2009.
Lantas, bagaimana implementasinya? Banyak kita jumpai tempat pembuangan sampah yang tidak mengindahkan UU Pengelolaan Sampah. Bahkan Pemda sendiri terkesan masih belum menyadarinya.