BANDUNG (ISL News) - Kementerian Keuangan melalui Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK) tengah meminta masukan publik atas Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) tentang Konsultan Kepabeanan.
Draft RPMK itu menyebut PPPK memiliki
tugas untuk mengoordinasikan, melaksanakan penyiapan rumusan kebijakan,
pembinaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan informasi atas profesi
keuangan. Konsultan kepabeanan selaku pemberi jasa di bidang kepabeanan adalah
profesi keuangan yang berada dalam pembinaan PPPK.
Supply Chain Indonesia (SCI)
mengapresiasi keterbukaan penerimaan masukan dan tanggapan atas RPMK itu. Untuk
itu, Senior Consultant SCI Ahmad Sugiono memberikan delapan catatan atas draft
tersebut.
Pertama, dalam RPMK ini tidak
mencantumkan UU No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan sebagai konsideran.
Sementara, perihal yang diatur adalah kepabeanan dan berimplikasi terhadap
usaha yang telah lama dilakukan berdasarkan UU itu.
Kedua, RPMK menyebut persyaratan
pendidikan Konsultan Kepabeanan minimum Diploma III. Padahal, saat ini banyak
Ahli Kepabeanan yang berpendidikan SMA karena syarat mengikuti ujian
sertifikasi Kepabeanan minimal SMA dan sederajat.
Ketiga, pada Pasal 2 ayat (2) perlu
penegasan terhadap kata “atau lembaga lainnya” karena berpotensi membatasi
kegiatan Ahli Kepabeanan misalnya terkait Kadin. Saat ini banyak Ahli
Kepabeanan yang juga beraktivitas dan/atau perusahaannya menjadi anggota Kadin.
Keempat, ketentuan dalam RPMK
memunculkan potensi ketidakpastian asosiasi yang akan ditunjuk mengadakan PPL.
Saat ini belum ada asosiasi konsultan kepabeanan, sementara terdapat beberapa
asosiasi ahli kepabeanan dan asosiasi logistik yang beranggotakan ribuan ahli
kepabeanan.
Kelima, berkaitan dengan lingkup
kegiatan jasa Konsultan Kepabeanan, memunculkan sejumlah pertanyaan: apakah hal
ini hanya redefinisi, repetisi, replikasi, atau duplikasi dari Ahli Kepabeanan
menjadi Konsultan Kepabeanan? Apakah lingkup Ahli Kepabeanan hanya sebatas pada
pemberitahuan pabean saja? Sementara, cakupan Ahli Kepabeanan dari jauh sebelum
barang dipesan sampai barang tersebut dikirim ke konsumen.
Keenam, mengenai pemberian jasa
konsultan kepabeanan, isi Pasal 4 RPMK itu menimbulkan kekuatiran khususnya
bagi konsultan yang bekerja di luar entitas yang diatur dalam RPMK ini,
sehingga apakah Ahli Kepabeanan dalam kapasitas pribadi atau perorangan tidak
dapat memberikan jasa kepabeanan?
Ketujuh, RPMK menyebut Konsultan
Kepabeanan wajib mengikuti PPL setiap tahun. Hal ini sulit dipenuhi karena
tugas Ahli Kepabeanan yang banyak sehingga berpotensi tidak mampu memenuhi SKP
yang disyaratkan dalam jangka waktu yang pendek itu.
Kedelapan, berkaitan dengan kewajiban
terhadap pilihan profesi. Pemilik sertifikat Ahli Kepabeanan dalam hal ini mau
tidak mau harus menjadi Konsultan Kepabeanan, sehingga berisiko penutupan
perusahaan Ahli Kepabeanan yang tidak mengajukan permohonan izin menjadi
Konsultan Kepabeanan dengan berbagai alasan.
Ahmad menyatakan RPMK ini masih
memerlukan cukup banyak perubahan. Selain menerima masukan publik, RPMK masih
perlu dibahas bersama asosiasi, DJBC, dan stakeholder lainnya agar terjadi
penyempurnaan yang menyeluruh.
(Redaksi ISL News/Humas SCI/email:islnewstv@gmail.com).