FLAG OF CONVENIENCE (FoC)
Sebuah kapal dikatakan mengibarkan flag of convenience
(bendera kemudahan) apabila kapal tersebut oleh pemiliknya didaftarkan di
negara yang bukan negara tempat domisili pemiliknya (didaftarkan di negara
asing yang menganut system Flag of Convenience), dengan tujuan untuk mengurangi
biaya operasi kapal atau menghindari peraturan-peraturan pemerintah tertentu,
dengan kelonggaran-kelonggaran yang diberikan oleh negara penganut sistim FoC
antara lain dalam hal standar keselamatan. Contoh yang paling menonjol adalah
soal penggajian ABK,kalau sebuah kapal berbendera Jepang atau Inggris atau USA,
maka standar penggajian ABK harus mengikuti peraturan perundangan dari Negara
ybs.
Berhubung komponen gaji ABK ini merupakan
“fixed cost” sedangkan pendapatan freight sifatnya fluktuatif, maka untuk
menghindari beban terlalu berat bagi pemilik kapal terutama pada situasi
freight rendah, maka pemilik kapal lebih memilih didaftarkan ke FoC.
OPEN
REGISTRY dan CLOSE REGISTRY
Open registry (pendaftaran terbuka) adalah
suatu system pendaftaran kapal di bawah bendera suatu Negara yang terbuka untuk
semua kapal tanpa memperhatikan kebangsaan asal kapal-kapal tersebut dan
kepemilikannya.
Negara-negara yang menganut sisitem open
registry ini adalah Negara yang potensi maritimnya tidak terlalu besar misalnya
Apa hubungan antara FoC dengan OR. Negara-negara
yang menganut system “Open Registry” (
1. orang perseorangan Warga Negara Indonesia;
2. badan hukum Indonesia
karena yang
dimaksud “pendaftaran kapal” adalah pendaftaran hak milik atas kapal sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangan-undangan (Penjelasan Pasal 158 ayat (3) dan (4) UU
No.17/2008 tentang Pelayaran)
Apa untung
ruginya bagi Indonesia, jika menganut sistim Flag of Convenience/Open Registry.
Beberapa waktu
yang lalu muncul wacana untuk merubah system pendaftaran kapal di Indonesia
dari system Closs Registry (Pendaftaran Tertutup) menjadi Open Registry
(Pendaftaran Terbuka). Alasannya untuk mempercepat penambahan kapal bendera
Indonesia dalam rangka implementasi azas cabotage (angkutan muatan
barang/penumpang di dalam negeri dilaksanakan oleh kapal berbendera Indonesia)
Untuk usaha dibidang angkutan di perairan berdasarkan Peraturan
Presiden No. 36 tahun 2010 (revisi
daripada Perpres No.77 tahun 2007 sebagaimana telah diubah dengan Perpres
No.111 tahun 2007) dapat dimiliki oleh perusahaan joint venture antara Badan Usaha Indonesia (kepemilikan nasional
51%) dengan Badan Usaha Asing dengan batasan kepemilikan modal asing maksimal
49%.
Dalam menjamin kepemilikan nasional 51% maka harus dicari suatu mekanisme
pengawasan yang nyata dan efektif. Mekanisme
pengawasan harus dibuat apakah dengan Peraturan Menteri Keuangan atau Menteri
Hukum dan HAM atau BKPM yang sampai saat ini belum ada. Untuk itu perlu dikaji apakah pernyataan dari Departemen Perhubungan
cq Dirjen Hubla bahwa setelah Inpres No. 5 tahun 2005 armada kapal nasional
bertambah cukup signifikan dari tahun 2005-2009 sebanyak 2.484 unit (41,12%)
setara dengan 4,655,998 GT (82%). Informasi peningkatan ini perlu dikolaborasi
apakah hanya semata-mata berdasarkan bendera kapal saja atau juga berdasarkan
kepemilikan (benar-benar dimiliki oleh Badan Hukum Indonesia/perseorangan warga
negara Indonesia), karena Peraturan Presiden
No. 36 tahun 2010 menekankan
bahwa kepemilikan kapal oleh asing dibatasi hanya sebesar 49%.
Khusus untuk modal asing yang berasal dari negara-negara anggota ASEAN Perpres
No.36 tahun 2010 mengisyaratkan bahwa kepemilikannya diperbolehkan sampai 60%,
tetapi ini hanya berlaku untuk angkutan (laut) muatan penumpang & barang luar negeri (ekspor/impor), tidak diperbolehkan untuk dipergunakan
untuk angkutan dalam negeri. Dan tidak mungkin kapalnya didaftarkan menjadi
kapal berbendera Indonesia, karena sesuai dengan Pasal 158 ayat (2 c)
Undang-Undang No.17/2008 tentang Pelayaran bahwa antara lain ”kapal yang dapat
didaftar di Indonesia adalah kapal milik badan hukum Indonesia yang merupakan
usaha patungan yang mayoritas sahamnya
dimiliki oleh warga negara Indonesia”.
Tentu masyarakat pelayaran nasional tidak menghendaki Badan Usaha Asing menguasai angkutan muatan domestik, karena
angkutan muatan domestik mutlak menjadi
hak pelayaran nasional (azas cabotage), sesuai dengan amanat INPRES No.5 tahun
2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional yang kemudian diserap
kedalam Undang-Undang No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran.
KESIMPULAN.
Bahwa sistem FoC/Open Registry tidak cocok dikembangkan di Indonesia yang
merupakan negara kepulauan yang menganut azas caboatge, selain bertentangan
dengan perundang-undangan yang berlaku (UU No.17/2008 tentang Pelayaran dan
INPRES No.5/2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional) juga akan
mengancam existensi pelayaran nasional (murni), mengingat potensi muatan
domestik sangat besar, untuk general cargo lk 250.000.000 ton dan untuk bulk
cargo lk 80.000.000 ton dengan peningkatan 10% per tahun.
Sistim Open Registry sangat berpotensi memperluas dominasi asing di sektor
industri pelayaran nasional Indonesia.
Oleh : Maman Permana
Sekretaris MAPPEL, (Masyarakat Pemerhati Pelayaran, Pelabuhan dan Lingkungan Maritim)