Masa jabatan hakim ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial aturannya dipertegas kembali oleh MK. |
Mahkamah Konstitusi akhirnya mempertegas soal pengaturan periodisasi masa jabatan hakim Ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Jika semula masa jabatan hakim Ad hoc PHI lima tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Kini masa jabatan hakim ad hoc lima tahun dan bisa diangkat kembali setiap lima tahun oleh usulan Ketua Mahkamah Agung dengan persetujuan lembaga pengusul.
Sebelumnya dua hakim ad hoc PHI Mustofa dan Sahala Aritonang mengajukan gugatan uji materi Pasal 67 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI). Pasal tersebut 67 ayat (2) itu berbunyi; "Masa tugas Hakim Ad-Hoc untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan".
Menurut pemohon, aturan tentang periodisasi hakim Ad hoc itu berpotensi menimbulkan masalah yang berkaitan dengan keberlanjutan penyelesaian, pemeriksaan, dan pemutusan perkara perselisihan hubungan industrial. Dengan adanya periodisasi, pemohon khawatir tidak dapat menuntaskan perkara perselisihan hubungan industrial yang seharusnya memberikan perlindungan yang adil bagi pekerja dan pemerintah.
Selain itu, Pemohon juga menyatakan periodisasi jabatan hakim Ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial menimbulkan ketidakpastian karir bagi hakim PHI. Padahal, pola rekruitmen untuk menjadi calon hakim Ad hoc itu sendiri sangat ketat dan selektif, hingga melibatkan presiden, MA, dan KY.
Pemohon menginginkan hakim Ad hoc pada PHI dapat menjabat hingga batas usia pensiun. Oleh karena itu, di dalam petitumnya Pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 67 ayat (2) UU PPHI konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai "masa jabatan Hakim Ad-Hoc adalah untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali setiap 5 (lima) tahun oleh Ketua Mahkamah Agung hingga mencapai batas usia pensiun hakim yakni 62 tahun untuk Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Negeri dan 67 tahun untuk Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung Republik Indonesia."
Uji materi norma a quo teregistrasi dengan nomor perkara 49/PUU/XIV/2016. Kedua hakim ad hoc tersebut mendalilkan, Pasal 67 ayat (2) UU PPHI bersifat diskriminatif lantaran sebagai norma yang mengatur periodisasi masa jabatan hakim Ad hoc di lingkungan PHI, norma tersebut sama sekali berbeda dengan norma-norma yang mengatur ketentuan periodisasi masa jabatan hakim lain di bawah Mahkamah Agung (MA).
Atas permohonan itu hakim Konstitusi mengabulkan sebagian dari permohonan uji materi Pasal 67 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI).
"Menyatakan Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, "Masa tugas Hakim Ad-Hoc adalah untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali setiap 5 (lima) tahun yang diusulkan oleh Ketua Mahkamah Agung dengan terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari lembaga pengusul yang prosesnya sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku’," kata Ketua MK Arief Hidayat, Selasa (21/2).
Pertimbangan MK
Sebelumnya, hakim konstitusi Suhartoyo berpandangan bahwa kedudukan Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial tidak berbeda dengan kedudukan Hakim Ad-Hoc pada pengadilan khusus lainnya. Yakni sebagai Hakim Anggota Majelis Hakim yang bertugas memeriksa dan memutuskan perkara perburuhan atau perkara hubungan industrial.
"Susunan majelis hakim yang memeriksa perkara hubungan industrial komposisinya selalu hakim Karir sebagai Ketua Majelis dan 2 (dua) orang Hakim Ad-hoc sebagai hakim anggota yang masing-masing satu Hakim Ad-Hoc anggota dari unsur serikat pekerja/atau serikat buruh dan satu Hakim Ad-Hoc anggota dari unsur organisasi pengusaha," kata Suhartoyo, Selasa (21/2).
Namun meski sama-sama berperan sebagai hakim anggota, Suhartoyo menerangkan bahwa komposisi majelis hakim ad hoc di lingkungan PHI berbeda dengan komposisi susunan majelis hakim yang ada pada pengadilan khusus lainnya yang memiliki Hakim Ad-hoc. "Hal tersebut dikarenakan ada sifat kekhususan terhadap Pengadilan Hubungan Industrial yang tidak dapat dilepaskan dari adanya kebutuhan bahwa Pengadilan Hubungan Industrial adalah implementasi dari pengembangan lembaga tripartit di dalam penyelesaian sengketa hubungan industrial," sambung Suhartoyo.
Suhartoyo juga menjelaskan, mekanisme pengangkatan Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dilakukan atas usul organisasi serikat pekerja atau serikat buruh dan organisasi pengusaha. Hakim ad hoc yang diusulkan kedua pihak haruslah menguasai pengetahuan hukum khususnya di bidang perburuhan atau ketenagakerjaan serta mempunyai pengalaman di dalam penanganan permasalahan yang berkaitan dengan ketenagakerjaan maupun di bidang kepengusahaan.
Terhadap permohonan pemohon, sambung Suhartoyo, MK menilai bahwa hakim Ad-hoc yang telah habis masa jabatannya pada PHI bisa diangkat kembali dengan catatan hakim tersebut harus terlebih dulu mendapatkan persetujuan atau rekomendasi dari lembaga pengusul. Hal demikian penting mengingat lembaga pengusul itulah yang dipandang paling tahu soal kemampuan, integritas dan rekam jejak calon hakim Ad Hoc tersebut.
Namun demikian, MK menegaskan bahwa pengusulan kembali calon Hakim Ad-Hoc pada PHI yang pernah menjabat tersebut tidak boleh menghilangkan kesempatan calon Hakim Ad-Hoc lainnya yang juga memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang dan yang juga diusulkan oleh lembaga pengusul serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha untuk mengikuti seleksi pencalonan sebagai calon Hakim Ad-Hoc pada PHI.
Dengan kata lain, bahwa antara calon Hakim Ad-Hoc yang telah pernah menjabat maupun yang belum pernah menjabat mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri dan diusulkan oleh lembaga pengusul baik serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha sepanjang memenuhi syarat UU. Hingga proses terakhir diusulkan oleh Ketua Mahkamah Agung untuk diangkat oleh Presiden.
"Bahwa dengan uraian pertimbangan tersebut di atas, maka Mahkamah dapat memahami permohonan Pemohon berkenaan norma Pasal 67 ayat (2) UU 2/2004 agar dinyatakan inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai memberi kesempatan kembali kepada para Hakim Ad-hoc yang pernah menjabat," kata Suhartoyo.
MK juga berpendapat, putusan 49/PUU-XIV/2016 ini tidak bertentangan dengan putusan MK nomor 32/PUU-XII/2014 yang menyatakan bahwa mekanisme pengangkatan hakim ad hoc tidak sama dengan mekanisme pengangkatan hakim karir sebagai pejabat negara. Hakim ad hoc dibentuk karena adanya faktor kebutuhan akan keahlian dan efektivitas pemeriksaan di pengadilan yang bersifat khusus.