Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di Dewan Perwakilan Rakyat dinilai belum memberi banyak kemajuan. Banyak pasal yang dinilai akan menjadi ancaman bagi kebebasan berekspresi yang masih dipertahankan tanpa ada perubahan secara signifikan.
"Meskipun dalam beberapa ketentuan terjadi perdebatan alot, namun DPR dan Pemerintah tidak secara tegas menghapus pasal-pasal yang bermasalah tersebut, terlihat masih besarnya keinginan negara untuk mengekang hak asasi manusia," kata Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Kamis (2/3).
ICJR yang menjadi bagian dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP menilai, dalam beberapa pasal baik yang sudah disepakati dan atau ditunda pembahasannya, ada beberapa pasal yang kemudian diproyeksi dapat mengekang kebebasan berekspresi. Setidaknya ada beberapa pidana sebagaimana disebutkan di atas berpotensi untuk disetujui dalam RKUHP. Pertama, kejahatan ideologi negara. Pengaturan mengenai kejahatan terhadap ideologi dalam RKUHP diatur pada Bab I tentang Tindak Pidana Terhadap Keamanan Negara, yaitu mengenai Penyebaran ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme (Pasal 219 dan pasal 220) dan Peniadaan dan mengganti Ideologi Pancasila (Pasal 221).
Masalah utama perumusan pasal-pasal kejahatan ideologi tersebut, kata Supriyadi, masih menimbulkan banyak penafsiran (multipurpose act), samar dan tidak jelas, dapat berakibat pada pelanggaran hak asasi manusia. Khususnya terkait dengan jenis perbuatan yang dilarang, apakah perbuatan menyebarkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atau perbuatan yang menggantikan atau mengubah Pancasila.
"Pasal tersebut intinya menyebutkan bahwa dilarang mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme yang ditujukan untuk mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara," paparnya.
Akibatnya, rumusan pasal tersebut sangat luas, frasa unsur-unsur tindak pidana tersebut seperti "menyebarkan atau mengembangkan", kemudian "ajaran Komunisme/Maxisme-Leninisme", dan "di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apapun" berpotensi menghadang kebebasan berekpresi. Rumusan pasal itu juga dinilai berpotensi memperparah situasi insiden pembubaran diskusi, berkumpul, dan larangan penerbitan buku dan lain-lain yang diklaim sepihak sebagai ajaran Marxisme akan tetap terjadi di masa mendatang
Kedua, pengaturan mengenai kejahatan terhadap tindak pidana penghinaan terhadap pemerintah dalam RKUHP berada dalam Buku II Bab V dengan judul Tindak Pidana Terhadap Ketertiban Umum Pasal 284 dan Pasal 285 RKUHP. Pasal-pasal penyebaran kebencian dan pernyataan permusuhan terhadap penguasa yang telah dihilangkan Mahkamah Konstitusi juga kembali di masukkan dalam pasal 284-285 RKUHP.
Oleh karena itu ke depan terlihat jelas, trend penguatan pasal-pasal proteksi negara akan kembali menguat. "Pasal penyebaran kebencian dan pernyataan permusuhan pada penguasa disepakati oleh Pemerintah dan DPR masuk dalam KUHP, meskipun mambawa logika perubahan dari delik formil menjadi delik materil, namun penggunaan pasal ini dipastikan akan sangat subjektif digunakan oleh negara untuk membungkam kritik dari masyarakat," kata Supriyadi.
Ketiga, tindak pidana penghinaan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden dalam RUU KUHP berada dalam Buku II Bab II Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden Dan Wakil Presiden, di Bagian Kedua. Pasal Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden terdapat dalam Pasal 265 dan Pasal 266 RUU KUHP dan bila diamati Pasal-pasal yang ada dalam RUU KUHP tersebut tidak jauh berbeda dengan rumusan pasal-pasal tindak pidana martabat presiden dalam Bab II KUHP, yakni Pasal 134, 136 Bis 137 KUHP.
Dalam pembahasannya, pasal ini memang ditunda oleh DPR, namun tim Pemerintah bertahan dengan argumen perlu untuk menjaga martabat presiden dan wakil presiden. Pasal ini disebut sebagai pasal lesse majeste yang bermaksud menempatkan pemimpin negara tidak bisa diganggu gugat atau tidak boleh dikritik. Oleh Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006, materi ketentuan ini dicabut, mengaturnya kembali sama saja membangkang pada konstitusi.
Keempat, Pemerintah dan DPR telah masuk dalam pembahasan BAB VI tentang Tindak Pidana Terhadap Proses Peradilan, atau lazim disebut Contempt of Court. Di permulaan pembahasan, Prof. Muladi yang mewakili pemerintah menyebutkan, konsep dalam BAB VI ini merupakan bentuk pengaturan yang lebih dari Contempt of Court (CoC), Pemerintah menyebutkan pengaturan ini adalah bentuk lebih luas dari CoC karena juga mengandung ketentuan terkait pengabaian perintah pengadilan, penghinaan pada hakim dan integritas peradilan, Trial by Press, sampai dengan perlakuan tidak sopan di muka sidang.
"Pemerintah menyebutkan bahwa ketentuan ini di-design demi melindungi proses peradilan dan bersifat futuristik," kata Supriyadi.
Dia menilai, kondisi pembahasan khusus pasal CoC ini bisa sangat berbahaya karena pasal-pasal yang ada dalam CoC sangat sangat berpotensi melanggar hak asasi manusia. Misalnya saja larangan untuk mempublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan. Meskipun dalam beberapa pasal terjadi penundaan pembahasan, namun sekali lagi, baik DPR dan Pemerintah tidak secara tegas menghapus ketentuan yang dianggap bermasalah.
"Tidak ada ukuran yang jelas dan indikator bagaimana hakim bisa terpengaruhi dengan publikasi yang dimaksud, pun begitu sesungguhnya sudah ada pranata Dewan Pers yang bisa mengadili masalah pers sehingga tidak perlu ada hukum pidana," terangnya.
Kelima, ada beberapa masalah mendasar terkait dengan delik penghinaan dalam RKUHP yaitu meningkatnya ancaman pidana, dan ketiadaan alasan pembenar yang cukup. RKUHP nampaknya tidak melihat penggunaan doktrin "Alasan Membela Diri" dalam perkara penghinaan. "Ini agar kebebasan berekpresi terkait kritik tidak dicampuradukkan dengan menghina. Selama ini ekspresi yang bersifat kritik seringkali dilaporkan ke aparat penegak hukum sebagai penghinaan," kata Supriyadi.
Meskipun pembahasannya ditunda, namun nampaknya DPR dan Pemerintah sepakat untuk menaikkan ancaman pidana dari pasal penghinaan. Supriyadi menegaskan, selama ini Aliansi Nasional Reformasi KUHP mendorong setidaknya penggunaan pidana denda sebagai ancaman pidana dalam pasal-pasal penghinaan.
"Pidana Fitnah dan Pengaduan Fitnah akan memiliki ancaman pidana 5 tahun, yang artinya akan ada tindakan represif berupa penahanan pada pelaku penghinaan, dalam praktik selama ini, termasuk yang terjadi dalam UU ITE, pasal ini akan digunakan sebagai alat yang sangat efektif untuk membungkam kritik dan mengekang kebebasan berekspresi," pungkasnya.
Terkait adanya pasal "kejahatan terhadap ideologi", sebelumnya anggota Komisi III DPR Taufiqulhadi menilai, pencantuman Pancasila dalam RUU KUHP menjadi sebuah bentuk perlindungan terhadap ideologi bangsa yang sudah teruji kesaktiannya. "KUHP disusun jauh sebelum Indonesia merdeka. Dan saat ini ketika ada kesempatan untuk merubah KUHP, maka sebagai negara yang merdeka dengan ideologi Pancasila, tentu ini kesempatan kita untuk melindungi ideologi asli bangsa kita sendiri lewat pasal pelarangan penyebaran ajaran komunisme dan pelarangan penggantian ideologi bangsa, Pancasila," jelas Taufiq beberapa waktu lalu.
Budayawan yang juga peneliti pemikiran dan teori Karl Marx, Franz Magnis Suseno juga mengatakan hal senada. Dia menyebut meski komunisme sudah lama hancur seiring dengan runtuhnya tembok Berlin dan hancurnya Uni Soviet di awal tahun 90-an, namun pengalaman buruk sejarah bangsa Indonesia dengan ajaran komunisme yang memonopoli kekuasaan menjadi sebuah hal yang bertentangan dengan Pancasila. "Oleh karena itu perlu diwaspadai," kata Romo Magnis dalam pembahasan RKUHP bersama Komisi III DPR beberapa waktu lalu.
Selain soal perlindungan ideologi, RKUHP juga masih membicarakan soal proses pelaporan terhadap pelaku dugaan penodaan, penistaan dan penghinaan agama menjadi pro dan kontra dalam pembahasan rapat dengar pendapat umum (RDPU) Komisi III DPR RI dengan perwakilan organisasi keagamaan.
Ketua Panja KUHP Benny K. Harman mengatakan, terkait Bab VII Tindak Pidana terhadap agama khususnya Pasal 348, 349 dan 350 ada sejumlah masukan dari perwakilan organisasi agama, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dan Konvrensi wali gereja Indonesia.
"Salah satunya adalah terkait pelapor terhadap dugaan penghinaan, penistaan atau penodaan agama agar hanya boleh dilakukan oleh lembaga, bukan perorangan," ujar Benny saat memimpin rapat di ruang rapat Komisi IIIl, Gedung DPR RI, Senayan Jakarta, Senin (6/2) lalu.
Pada kesempatan itu Ketua Hukum dan HAM PHDI Yanto Jaya menilai lembaga keagamaanlah yang dianggap paling paham ketika seseorang diduga telah melakukan tindakan penghinaan, penodaan atau penistaan terhadap agamanya sesuai dengan ajaran dan aturan dalam agama masing-masing. "Lembaga agamalah yang paling tahu. Bukan orang per orang atau individual. Mereka bisa melaporkan ke lembaga keagamaannya masing-masing. Nah lembaga keagamaan akan menilai, jika cukup bukti bisa melaporkan itu ke aparat penegak hukum," ungkap Yanto.
Namun pendapat berbeda diberikan anggota Komisi III Didik Mukrianto. Dia menegaskan, penghormatan dan penghargaan negara terhadap hak masing-masing individu sudah diatur dalam Pasal 29 UUD 1945 dimana negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara juga menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
"Oleh karena itu adalah hak masing-masing individu untuk membela agama yang diakui dan dipercayainya tersebut. Sehingga hal tersebut tidak dapat diwakilkan oleh orang lain ataupun lembaga lain," ujarnya.