JAKARTA (ISL News) - Jelang pelaksanaan Sidang International Maritime Organization (IMO) Marine Environment Protection Committee (MEPC) ke-80 yang akan berlangsung di kantor pusat International Maritime Organization, London, Inggris Raya, pada tanggal 3 sampai 7 Juli 2023 mendatang, Kementerian Perhubungan Cq. Direktorat Jenderal Perhubungan Laut melalui Direktorat Perkapalan dan Kepelautan melaksanakan persiapan penyusunan materi sidang, di Hotel Grand Orchardz Kemayoran, Jakarta.
Kegiatan
tersebut dipimpin oleh Direktur Perkapalan dan Kepelautan, Dr. Hartanto, yang
diwakili Kasubdit Pencegahan Pencemaran
dan Manajemen Keselamatan Kapal dan Perlindungan Lingkungan di Perairan,
Stephanus Risdiyanto dihadiri oleh 35 (tiga puluh lima) orang peserta yang
terdiri dari perwakilan dari Kementerian Perhubungan serta berbagai kementerian
dan lembaga yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan maritim.
Dalam
sambutan pembukaannya, Direktur Perkapalan dan Kepelautan, yang diwakili
Kasubdit Pencegahan Pencemaran dan
Manajemen Keselamatan Kapal dan Perlindungan Lingkungan di Perairan, Stephanus
Risdiyanto mengatakan bahwa posisi Indonesia selain kapasitasnya sebagai negara
anggota IMO, juga statusnya sebagai Anggota Dewan IMO Kategori C, senantiasa
memanfaatkan Forum MEPC untuk menyuarakan kepentingan Nasional mengenai aspek
kemaritiman.
“MEPC
sebagai komite terbesar kedua IMO setelah Maritime Safety Committee (MSC),
memiliki kewenangan untuk mempertimbangkan hal-hal terkait pencegahan dan
pengawasan terhadap pencemaran lingkungan maritim, khususnya yang terkait
dengan adopsi atau perubahan terhadap konvensi-konvensi dan peraturan lainnya
seta tindakan-tindakan yang memastikan penegakan Konvensi dan peraturan
tersebut” kata Stephanus.
Menurutnya,
pada MEPC-80 yang berlangsung pada 3 – 7 Juli 2023 ini akan menjadi sidang yang
sangat intens karena akan membahas 129 dokumen serta akan membahas beberapa
agenda penting di antaranya: penentuan revisi strategi IMO pada penurunan emisi
gas rumah kaca dari kapal (on reduction of GHG emission from ships), amandemen
terhadap Ballast Water Management Convention dan Marpol Annex VI, efisiensi
energi (energy efficiency), dan tindak lanjut untuk menangani sampah plastik
dari kapal di perairan (Marine plastic Litter), termasuk dokumen-dokumen dari
sidang-sidang MEPC sebelumnya yang memerlukan pembahasan intensif dalam
pertemuan tatap muka, dengan total agenda 15 item.
Selain
itu, agenda penentuan revisi strategi IMO mengenai penurunan emisi gas rumah
kaca pada pembahasan di sidang-sidang sebelumnya, negara-negara maju mendorong
IMO untuk mencapai visi dan tingkat ambisi yang tidak realistis, terutama yang
mengharuskan industri pelayaran internasional untuk mencapai siklus hidup no
emisi GRK (lifecycle zero GHG Emission) paling lambat tahun 2050, dan
menetapkan titik peninjauan di tahun 2030 dan 2040. Selain itu, negara-negara
maju juga menganjurkan untuk menetapkan batas intensitas siklus hidup GRK
(lifecycle GHG) untuk bahan bakar kapal, yang akan dimplementasikan bersama
dengan pungutan GRK tetap dengan kuantum yang sangat tinggi.
Menyikapi
hal tersebut, lanjut Stephanus Indonesia sebagai negara berkembang menempatkan
diri sebagai negara yang realistis dan menilai bahwa tingkat ambisi pengurangan
GRK pada tahun 2050 sangat menantang bagi negara-negara berkembang untuk
mencapainya tanpa dukungan bantuan teknis dan finansial.
“Selain
itu, target penurunan emisi GRK dengan Langkah-langkah yang ada dianggap
terlalu ambisius dikhawatirkan dapat menyebabkan kenaikan yang signifikan dalam
biaya transportasi laut dan menjadi beban bagi Indonesia dan negara-negara
berkembang lainnya” kata Stephanus.
Lebih
jauh, Stepanus juga mengatakan bahwa perairan Indonesia merupakan salah satu
perairan tersibuk di dunia yang banyak dilalui oleh kapal dari berbagai negara.
Artinya, banyak negara yang berkepentingan dengan perairan Indonesia. Kondisi
ini tentu mempengaruhi lingkungan laut yang menjadi yurisdiksi Republik
Indonesia, mulai dari laut teritorial sampai dengan Zona Ekonomi Eksklusif.
“Perserikatan
Bangsa-Bangsa telah mengamanatkan setiap negara untuk menegakkan kedaulatan di
wilayah perairannya dalam konteks perlindungan lingkungan maritim. Penegakan
kedaulatan negara di bidang perlindungan lingkungan maritim harus menjadi
perhatian setiap pemangku kepentingan tidak hanya di lingkungan Kementerian
Perhubungan, tetapi juga kementerian dan lembaga lainnya yang berkepentingan
dengan pelestarian lingkungan laut dan segala sumber dayanya” kata Stephanus.
Untuk
itu, Stepanus memintamelalui kegiatan
konsinyering kali ini diharapkan Kementerian Perhubungan cq Direktorat
Jenderal Perhubungan Laut dapat menyusun kertas posisi Indonesia untuk semua
agenda yang akan dibahas di Sidang MEPC-80 nanti, khususnya mengenai agenda
pengurangan emisi Gas Rumah Kaca’ ujar Stephanus.
(Redaksi
ISL News/Humas HUBLA/email:islnewstv@gmail.com).