JAKARTA (ISL News) - National Logistics Ecosystem atau disingkat NLE adalah Ekosistem logistik yang menyelaraskan arus lalu lintas barang dan dokumen international sejak kedatangan sarana pengangkut hingga barang tiba di gudang, berorientasi pada kerja sama antar instansi pemerintah dan swasta, melalui pertukaran data, simplifikasi proses, penghapusan repetisi dan duplikasi, serta didukung oleh sistem teknologi informasi yang mencakup seluruh proses logistic terkait dan menghubungkan sistem – sistem logistik yang telah ada.
Menurut
Khairul Mahalli, NLE didasarkan pada Perdirjen BC 11/BC/2021 tentang  Ekosistem logistik yang menyelaraskan arus
lalu lintas barang, informasi dan dokumen internasional dan domestik.
“NLE berorientasi
pada kerja sama antar instansi pemerintah dan swasta, melalui pertukaran data,
simplifikasi proses, penghapusan repetisi dan duplikasi. Selain itu, NLE juga didukung
oleh sistem teknologi informasi yang mencakup seluruh proses logistik terkait
dan menghubungkan sistem – sistem logistik yang telah ada,” Ungkap Khairul
Mahalli.
Mengapa
diperlukan penataan Ekosistem Logistik Nasional? Menurut Khairul Mahalli, karena
biaya logistik yang tinggi,  dimana biaya
logistik Indonesia (2013 – World Bank) sebesar 26 %. “Dari besaran 26 % itu, 12
% disumbang dari Transportasi, 9,5 % Inventori  dan  4,5 % Administrasi,” Ujar
Khairul mahalli.
Perlunya penataan
Ekosistem Logistik Nasional melalui NLE, kata Khairul Mahalli, karena performa Indonesia
di mata internasional dinilai masih tinggi. “Kemudian Logistics Performance
Index stagnan dan Peringkat Ease of Doing
Business stagnan. Dan kebijakan tidak didasarkan pada data yang akurat Data
tidak lengkap  dan Identifikasi masalah tidak jelas,”Jelas
Khairul Mahalli.
Dan yang
pasti tujuan dari NLE ini, kata Khairul Mahalli adalah Simplifikasi Proses
Bisnis  Pemerintah &  Swasta, Kolaborasi  Logistik 
Pemerintah &  Swasta, Layanan  Pembayaran 
Digital, dan tata ruang. 
Pain point
logistik di Indonesia dari
pilar infrastruktur Teknologi Informasi & Komunikasi (TIK)  :
1.      No Idle Capacity Sharing 
Ketersediaan resources
dari  komponen logistik tidak dapat  diakses dengan mudah oleh calon  pengguna. (jumlah truk, kapasitas  warehouse, jadwal kapal yang akan  berangkat ke tujuan tertentu, dll) 
2.      Less Transparent 
Sistem pricing ditentukan
melalui  kontrak tertutup, belum ada
sistem  yang mampu menampilkan  komparasi harga antar penyedia; 
Historical Performance/Quality
dari  penyedia logistik tidak dapat  diakses oleh calon customer  berikutnya; 
3.      Silo 
Masing-masing entitas
memiliki  platform yang tidak saling
tersambung  (B2B). Contoh : Sudah ada
platform e-trucking,
e-warehousing, e-shipping  tapi belum ada
kolaborasi antar  platform  Entitas
logistik di sektor swasta telah 
mengembangkan platform masing 
masing tetapi belum ada super platform 
yang dapat mengkolaborasikan seluruh 
komponen platform logistik yang ada, 
diperlukan peran nyata pemerintah yang 
mampu menjadi enabler untuk segera 
mempertemukan segenap entitas 
logistik yang ada dalam bentuk wahana 
digital berupa trusted platform yang  dikelola oleh pemerintah 
4.    Not Digital At All 
Sebagian komponen
logistik belum ada sistem dan masih manual. Contoh : Depo Kontainer,  Pemanfaatan teknologi seperti  RFID , QR Code , AI CCTV untuk  mempercepat proses operasional  dan pengawasan belum  maksimal; Belum
ada integrasi dengan rantai  pasok global
seperti supply chain  berbasis Blockchain 
DPP ASDEKI monitoring dan evaluasi perusahaan
depo Container anggota Asdeki Sumatera Selatan di Palembang, Selasa, 23
Agustus 2022.
(Redaksi ISL News/Humas ASDEKI/email:
islnewstv@gmail.com).   





















