31 Maret 2017 mendatang, periode pengampunan pajak (tax amnesty) sudah berakhir. Setelah berakhir, persoalan yang menjadi tanda tanya adalah mengenai bagaimana penegakan hukum paska berakhirnya periode tax amnesty tersebut.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) punya masalah dalam konsistensi penegakan hukum. Belum semua pasal tentang penegakan hukum (administratif atau pidana) yang diamanat Undang-Undang perpajakan telah dijalankan dengan tegas. Banyak yang berpendapat bahwa jika amanat itu dilaksanakan dengan konsisten, maka kinerja DJP bisa lebih baik.
Bicara soal penegakan hukum adalah bicara soal sistem kenegaraan secara keseluruhan. DJP hanya sebuah subsistem sederhana dari sistem super rumit yang membentuk Indonesia. Di atas panggung penegakan hukum, DJP belum diperhitungkan. Mereka kalah bersinar dengan pemain lain semisal POLRI, Kejaksaan, atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Belum optimalnya penegakan hukum perpajakan oleh DJP telah berlangsung sedemikian lama dan akibatnya tercermin pada rendahnya tingkat kesadaran Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
Meski banyak faktor yang menyebabkan hal itu terjadi. Baik faktor yang sifatnya (seharusnya) dapat dikendalikan seperti: kapasitas sumber daya manusia, maupun faktor yang tidak dapat dikendalikan misalnya: daya dukung dan sinergi antar lembaga penegak hukum negara.
Kombinasi multifaktor itu menyebabkan penegakan hukum oleh DJP jalan ditempat. Pendek kata, dibutuhkan momentum untuk memperbaiki keadaan itu, sebuah momentum yang mendorong rekonsiliasi antarpihak demi perbaikan bersama.
Bila demikian, lantas bagaimana dengan Amnesti Pajak? Terutama ketika periode tax amnesty sudah usai pada 31 Maret 2017 nanti. Apakah wacana penegakan hukum yang lebih ketat akan benar-benar akan dijalankan DJP? atau seperti biasa, hanya sebatas retorika tak bermakna?
Terbentuknya Basis Data Pajak
Pada periode tax amnesty, di samping fasilitas "super duper", DJP juga bicara "ancaman". Konsep semacam ini lahir karena pada dasarnya keikutsertaan dalam Amnesti Pajak adalah hak. Ia tidak bisa dipaksakan, tetapi DJP tetap bisa mendorong Wajib Pajak/ masyarakat yang dibidik untuk ikut serta dengan memberikan gambaran mengenai bagaimana kelak ia akan menjalankan hukum yang ada ketika hak itu tidak dimanfaatkan.
Hal itulah dapat dikatakan titik kritisnya. Penegakan hukum pada akhirnya menjadi alat utama penentu tingkat keberhasilan kualitas dan kuantitas Amnesti Pajak. Semakin DJP mampu meyakinkan khalayak bahwa ia serius menerapkan ketentuan hukum yang ada usai periode amnesti kelak, maka semakin khalayak akan terdorong untuk ikut memanfaatkan fasilitas pengampunan tersebut.
Terbangunnya citra penegakan hukum yang konsisten dapat berdampak ke sejumlah kondisi lain pula kedepannya. Tidak hanya terbatas pada uang tebusan, tetapi juga terbentuknya basis data yang lebih memadai sebagai alat bantu untuk meningkatkan kepatuhan dan pengawasan terhadap Wajib Pajak.
Pengampunan Pajak harus dimanfaatkan sebagai sebuah prakondisi sebelum eksekusi penegakan hukum yang lebih mengigit dijalankan. Hal itu dikarenakan betapa penting tujuan kebijakan Amnesti Pajak itu sendiri, baik tujuan jangka pendek maupun tujuan jangka panjang. Bila penegakan hukum yang dilakukan dengan semestinya maka tujun besar kebijakan tersebut bisa digapai.
Pencapaian tujuan jangka pendek (penerimaan pajak) dan tujuan jangka panjang (peningkatan kepatuhan Wajib Pajak dan terbentuknya basis data yang memadai), saling berkaitan. Namun efektifitasnya sangat ditentukan oleh seberapa baik pijakan dasar yang terbentuk.
Pijakan itu adalah penegakan hukum perpajakan dari tingkatan terendah berupa menghimbau masyarakat potensial Wajib Pajak untuk mendaftarkan diri hingga pembinaan agar Wajib Pajak taat secara formil dan materiil dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
Di samping itu, prakondisi ini dapat dibentuk dengan memanfaatkan momentum Amnesti Pajak. Yakni dengan meneguhkan bahwa periode Amnesti Pajak adalah periode rekonsiliasi dan setelah periode itu berlalu, DJP tidak akan memberi toleransi terhadap pelanggaran ketentuan perpajakan.
Peningkatan probabilitas deteksi, intensifikasi dalam pengawasan, keterbukaan data kekayaan dan penghasilan, dan sinergi antarlembaga adalah sejumlah isu yang dapat diangkat untuk mengoptimalkan “ancaman” itu.
Bukan Perkara Sederhana
Periode pengampunan pajak sebentar lagi berakhir. Lalu, bagaimana DJP sudah mempersiapkan landasan untuk melakukan penegakan hukum pasca amnesti?
Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi mengatakan penerimaan amnesty pajak sampai dengan 14 Maret 2017 sudah mencapai Rp115 triliun. Dengan jumlah peserta wajib pajak (WP) sebanyak 727.613 peserta.
Selain itu, total deklarasi aset juga sudah mencapai Rp4.491,67 triliun dari 756.101 total surat pernyataan harta. Ken menambahkan, realisasi program amnesty pajak di seluruh Indonesia sudah mulai meningkat. "Di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, DKI Jakarta, Jawa Non-DKI, serta Bali sudah mengalami peningkatan," tukas Ken.
Melihat realita ini, akankah target Rp165 Triliun sampai dengan akhir Maret 2017 akan tercapai? Hal ini mengingat waktu yang tinggal menghitung hari.
Bagaimana jika DJP gagal menyiapkan mekanisme penegakan hukum sebagai pijakan dasar penegakan hukum paska periode tax amnesty? Itulah kekhawatiran semua pihak. Namun memang perlu diakui bahwa menyiapkan mekanisme penegakan hukum pasca Amnesti Pajak bukanlah perkara sepele. Sejumlah kondisi dan kemungkinan harus dipertimbangkan dengan matang.
Saya sendiri berharap bahwa DJP sudah memiliki strategi untuk menghadapi itu. Sebab terlalu banyak yang harus dikorbankan jika DJP mengabaikan momentum Amnesti Pajak. Kebijakan ini adalah kebijakan yang penuh pertaruhan. Dan taruhan terbesar adalah tergerusnya tingkat kepercayaan masyarakat/Wajib Pajak yang sebelumnya sudah patuh. Untuk mencegah itu, penegakan hukum pasca amnesti adalah jalan yang paling memungkinkan.
Dalam merumuskan kebijakan penegakan hukum pasca Amnesti Pajak, aspek yang tidak boleh lupa dikedepankan adalah aspek perlindungan pegawai pajak itu sendiri. Kunci penegakan hukum yang kuat berada di pegawai pajak yang berani dan merasa terlindungi.
Pertanyaan mendasarnya adalah: sudah sampai mana progres Inpres Perlindungan Pegawai Pajak yang sempat ramai? Regulasi semacam ini tiada lain adalah sebagai bukti betapa serius dan berdayanya negara dalam mencapai tujuan yang digariskan dalam pembukaan UUD 45. Sehingga DJP sebagai alat negara dapat menjalankan tugasnya menegakkan hukum perpajakan dengan konsisten dan konsekuen.
Melalui Amnesti Pajak, negara ini memberikan momentum bagi DJP untuk tampil mengukuhkan keberadaanya sebagai penegak hukum perpajakan. Terlepas bahwa pada akhirnya DJP hanyalah sebuah sebuah entitas diantara entitas penegak hukum lain.
Namun dengan momentum itulah DJP sejatinya mulai diberi panggung untuk membuktikan peran pentingnya yang tidak bisa dipandang sebelah mata dalam menegakkan hukum perpajakan. Momentum itu dimanfaatkan dengan cara antara lain dengan menjalankan amanat pasal-pasal mengenai penegakan hukum perpajakan dengan tegas sesuai ketentuan yang berlaku tanpa pandang bulu sehingga menambah angka probabilitas deteksi.
Selain itu, dapat juga dilakukan analisis dan pengawasan yang konsisten terhadap profil pembayaran dengan profil penghasilan berdasarkan basis data yang masuk dari hasil program Amnesti Pajak.
Kemudian memanfaatkan kebijakan keterbukaan dan pertukaran data (Automatic Exchange of Information) untuk menunjang kualitas analisis profil pembayaran dengan profil penghasilan berdasarkan basis data.
Lalu, DJP juga dapat membangun sinergi yang disertai dengan eksekusi lebih dalam dengan organisasi lain baik swasta maupun publik. Sehingga tidak terhenti sampai seremonial penandatanganan saja.
Solusi tersebut memang terkesan tak ada yang baru, namun kebaruannya justru terletak pada momentum yang harus dengan cepat dimanfaatkan. Artinya DJP mengolah gaya lama dibawah atmosfer yang baru. Urgensi pemanfaatan momentum ini adalah untuk membangun DJP yang lebih kuat, disegani, dan dipercaya masyarakat.
Hal semacam itulah yang pada gilirannya nanti akan membuat tujuan jangka panjang dari Amnesti Pajak dapat terwujud seperti tercapainya target penerimaan dan meningkatnya angka kepatuhan Wajib Pajak.
Momentum yang lahir selama periode Amnesti Pajak harus dipelihara dan jangan dibiarkan redup. Bersama momentum inilah DJP menggandeng dan mengajak masyarakat untuk memanfaatkan haknya memperoleh Amnesti Pajak.
Mengajak dalam arti menampilkan secara proporsional antara wajah yang melayani dan wajah yang menggambarkan kebijakan penegakan hukum. Mari kita jaga agar momentum itu menyala terus sampai dengan akhir periode. Sehingga ketika Amnesti Pajak usai, rencana strategis penegakan hukum akan dapat dieksekusi dengan lancar tanpa gonjang ganjing.
Semua ini perlu dilakukan demi rekonsiliasi bersama dan terbukanya lembaran baru bagi antarpihak yang bebas prasangka dan rasa curiga. Jika tidak maka momentum ini hanya akan menjadi retorika yang sekali lagi sudah terlalu biasa.