Potensi kenaikan debt-to-equity ratio BUMN konstruksi menjadi kendala untuk mencari pendanaan pembangunan infrastruktur di Tanah Air. Perpetual bond pun menjadi salah satu solusinya.
Nama perpetual bond masih asing di Indonesia. Opsi pendanaan ini merupakan ‘peralihan’ dari produk obligasi dan ekuitas. Namun, di pasar global produk ini digandrungi banyak perusahaan karena sifatnya yang ‘fleksibel dan bersahabat’ terhadap neraca keuangan.
“Di pasar internasional, nilai penerbitan perpertual bond melonjak signifikan pada 2015-2016. Di Indonesia, produk ini pernah dipakai oleh AirAsia untuk mengatasi masalah keuangannya,” tutur Amir Dalimunthe, analis obligasi PT Danareksa Sekuritas.
Amir menjelaskan produk investasi ini tidak memiliki periode jatuh tempo, tetapi investor akan mendapatkan pembayaran kupon secara berkala sesuai kesepakatan dengan penerbit.
Penerbit perpertual bond dapat menyematkan opsi pembelian kembali apabila suku bunga meningkat yang dapat meningkatkan beban pembayaran kupon. Fitur lainnya adalah investor mendapatkan penyesuaian besaran kupon mengikuti perkembangan suku bunga.
“Ini bisa menjadi opsi menarik bagi perusahaan konstruksi yang rasio utangnya tinggi tetapi butuh pendanaan besar. Bagi investor, ini seperti menerima dividen dari saham, tetapi yang diterima adalah bunga obligasi selama mereka tetap memiliki obligasi itu,” paparnya.
Korporasi konstruksi dan investasi milik negara, PT PP (Persero) Tbk., bisa menjadi emiten pertama di Indonesia yang menerbitkan perpetual bond. Namun, emiten berkode saham PTPP ini masih menunggu izin Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebelum menerbitkan instrumen utang tersebut.
Direktur Keuangan PTPP Agus Purbianto mengatakan nilai perpetual bond yang akan diterbitkan perseroan mencapai Rp1 triliun hingga Rp2 triliun dan akan dieksekusi pada tahun ini.
“Instrumen utang ini belum lazim di Indonesia dan masih dikaji oleh regulator. Sekarang kami bicara intensif dengan OJK,” katanya seusai RUPS Tahunan, Kamis (16/3).
TINGKAT KUPON
Selain itu, PTPP sedang berkoordinasi dengan sejumlah perusahaan sekuritas terkait penyusunan instrumen itu. Sejauh ini, tingkat kupon yang bakal ditetapkan dalam perpetual bond itu sekitar 9,5%.
“Karena ada risiko lebih besar, biasanya kupon perpetual bond lebih tinggi dibandingkan obligasi biasa,” jelas Amir.
Terkait mekanisme penerbitan, Agus mengatakan investor akan membeli perpetual bond melalui instrumen reksa dana penyertaan terbatas (RDPT) atau bentuk reksa dana lain.
“Nanti RDPT itu yang akan membeli bond itu,” katanya.
Menurutnya, instrumen perpetual bond yang belum lazim itu dipilih untuk merelaksasi neraca keuangan perseroan. Agus mengatakan dana yang diperoleh itu nantinya tidak dicatat dalam liabilitas, melainkan ekuitas.
Dana hasil pendanaan itu akan digunakan oleh emiten ini untuk berbagai rencana investasi, salah satunya untuk akuisisi perusahaan. Pada 2017, PTPP melalui anak usahanya, PT PP Peralatan, berencana untuk mengakuisisi tiga perusahaan.
Direktur Utama PTPP Tumiyana mengatakan tiga perusahaan itu akan selesai diakuisisi pada Maret dan April 2017. “Dua perusahaan akan selesai diakuisisi Maret ini, dan satu perusahaan selesai April,” katanya.
Tumiyana belum bersedia mengungkapkan identitas perusahaan itu dan dana yang disiapkan untuk melakukan akuisisi. Menurutnya, perusahaan akan mengumumkan aksi korporasi itu pada akhir Maret ini.
Rencana akuisisi itu dilakukan sekaligus untuk mempersiapkan PP Peralatan sebelum melakukan initial public offering (IPO) pada kuartal III/2017. Seperti diketahui, PTPP berencana melakukan IPO tiga anak usahanya, termasuk PT PP Pracetak dan PT PP Energi.
Sebagai gambaran, PTPP menargetkan kontrak senilai Rp40,62 triliun sepanjang tahun dimana telah tercapai 12,5% atau Rp5,1 triliun sampai pertengahan Maret 2017. Sejumlah kontrak yang diperoleh perusahaan antara lain dari proyek infrastruktur seperti jalan tol.
Dari kontrak baru itu, perusahaan menargetkan pendapatan usaha Rp28,6 triliun pada 2017, atau meningkat dibandingkan dengan Rp16,46 triliun pada 2016. Dari pendapatan itu, perusahaan mengincar laba bersih Rp1,71 triliun pada 2017.
Pada 2016, perusahaan membukukan laba bersih Rp1,02 triliun. Dalam RUPS Tahunan kemarin diputuskan bahwa perusahaan membagi dividen sebesar 30% dari laba bersih itu sekitar Rp307 miliar atau setara Rp49,52 per saham kepada pemegang saham.