Ketua KPU DKI beserta Ketua Bawaslu yang menghadiri rapat internal salah satu paslon Gubernur DKI Jakarta. (Foto:Kompas) |
Pertemuan itu menjadi persoalan lantaran dinilai sangat tidak etis penyelenggara pemilu bertemu secara tertutup dengan salah satu kontestan pilkada. Terkait hal ini, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz menilai, masalah etika memang menjadi sesuatu yang harus diperhatikan penyelenggara pemilu.
Dia menegaskan, etika adalah tingkatan tertinggi dalam penyelenggaraan pemilu. "Demokrasi kita seakan berada dalam himpunan bulatan, bulatan pertama yang juga terkecil adalah bulatan agama. Sedangkan bulatan yang menengah adalah bulatan hukum dan bulatan terbesar yang memuat dua bulatan sebelumnya adalah bulatan etika. Jadi, etika bagi penyelenggara, peserta dan pemilih adalah kasta tertinggi bagi semua pihak," katanya, dalam acara diskusi bertema "Evaluasi Etika Penyelenggara Pemilu", di Jakarta, Selasa (21/3).
Dalam acara yang diselenggarakan oleh Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia itu, Masykur menegaskan, etika jelas menjadi sesuatu yang harus dijaga dan diperjuangkan. Masykur mengingatkan bahwa bulatan agama adalah kelompok kecil yang sudah diperjuangkan oleh para pendiri bangsa.
"Jika, masalah agama menjadi kekuatan menghacurkan demokrasi Indonesia. Maka kita sudah mengalami kemunduran dalam berdemokrasi. Seharusnya, pesta demokrasi lokal lebih memajukan persoalan etika atau perwujudan keadilan dalam berdemokrasi," ujarnya.
Sementara itu, anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Saut Hamonangan Sirait mengatakan, dalam kajian DKPP, ada 13 kategori modus-modus pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. "Modus-modus ini sudah diakui secara umum," katanya.
Diantara modus-modus itu adalah manipulasi pemilih, perlakuan tak setara, pelanggaran hak pemilih, konflik kepentingan hingga soal intimidasi dan pelanggaran netralitas dan imparsialitas. Semenjak tahun 2012, Saut mengatakan, DKPP telah menerima sebanyak 2482 pengaduan dan/atau laporan terkait pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu.
Sementara, dari seluruh pengaduan terkait pilkada 2017, ada beberapa laporan yang diterima oleh DKPP RI seperti: 17 laporan untuk KPU RI, 28 laporan terhadap KPU Provinsi, 556 laporan terhadap KPU Kab/kota, 9 laporan PPK, 15 laporan PPS, 7 laporan terhadap Bawaslu RI, 27 laporan ke Bawaslu RI, 220 laporan terhadap Panwas Kab/Kota, dan 8 laporan terkait panwascam. "Jadi totalnya 887 laporan. Bila dibagi dua penyelenggara pemilu oleh DKPP, laporan ke KPU 70,8 persen dan 29,2 persen Bawaslu," terangnya.
Melihat masih tingginya laporan terkait pelanggaran etika penyelenggara pemilu, kedepannya Saut mengharapkan adanya Konfrensi Etik Penyelenggara Pemilu yang bisa menjadi bahan tetap yang baku terhadap etika penyelenggara. "Tidak menutup kemungkinan Konfrensi Etika ini menjadi panduan etika pejabat publik dan atau negara," pungkas Saut. Terkait usulan ini, Masykur berharap etika ini menjadi perhatian demi terciptanya pemilu atau pilkada beretika bukan hanya berintegritas.
Terkait kasus pertemuan terutup antara KPU DKI Jakarta dan Bawaslu DKI Jakarta dengan timses Ahok-Djarot, hal itu sudah dilaporkan oleh Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) ke DKPP. ACTA melaporkan pertemuan tertutup antara Sumarno, Mimah, dan Dahlia Umar dengan timses cagub-cawagub Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat, pada Kamis (9/3) lalu.
Ketua ACTA Krist Ibnu mengatakan, pihaknya menyayangkan adanya pertemuan tersebut karena dinilai kurang patut. "Kami menduga ada pelanggaran kode etik, maka kami laporkan," kata Ibnu.
Menurut Ketua Dewan Penasihat ACTA Hisar Tambunan, kehadiran penyelenggara pemilu dalam acara internal paslon Ahok-Djarot itu termasuk pelanggaran serius kode etik penyelenggara pemilu. Mereka mempertanyakan status Sumarno dan Mimah saat hadir dalam pertemuan itu.
"Apa pun alasannya, menurut hemat kami, itu tetap pelanggaran. Maka itu, kami adukan ke DKPP, apakah pertemuan tersebut atas nama pribadi atau atas nama lembaga. Karena ada ketidaksinkronan dari media, baik dari mereka bertiga dan komisioner," terang Hisar.
Yang dicurigai ACTA, pertemuan internal itu membahas Daftar Pemilih Tetap (DPT). Menurutnya, hal ini terlihat dari keinginan tim Ahok-Djarot menambah jumlah DPT pada putaran kedua Pilkada DKI.
"Kami khawatir pertemuan tersebut membahas rencana pembengkakan Daftar Pemilih Tetap di putaran kedua. Menurut dugaan kami sebelumnya itu paslon selalu menggembar-gemborkan tentang DPT. Sekarang pertemuan itu apakah membahas hal itu," tuturnya.
Sementara itu, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie memberi saran kepada Ketua KPU DKI Sumarno dan Ketua Bawaslu DKI Mimah Susanti apabila datang ke acara yang diadakan oleh tim paslon di Pilkada DKI putaran kedua.
Apabila terpaksa harus datang, Jimly berpendapat agar Sumarno maupun Mimah Susanti datang tak sendirian agar tidak menimbulkan kesan 'kepergok'. "Kalau terpaksa ya sudahlah tapi jangan (datang) sendirian sehingga nggak kesannya kayak tadi 'kepergok', kayak kepergok nah bawa rombongan," kata Jimly.
Kehadiran Mimah Susanti juga dikatakan Jimly tak perlu langsung dikaitkan akan ketidaknetralitasan dalam putaran dua Pilkada DKI. Justru menurutnya ini bukan masalah karena Mimah sendiri seorang pengawas pemilu yang turut datang di lokasi tempat Ketua KPU juga hadir. "Nah apalagi kalau dengan Bawaslu, bareng-bareng kan nggak masalah, kan pengawasnya ikut sama-sama," ujarnya.
Menurutnya, kehadiran Sumarno di acara internal Ahok justru menunjukkan sikap netral. Alasannya, bila nantinya kubu Anies Baswedan-Sandiaga Uno juga mengundang ke acara internal mereka, Sumarno pun akan melakukan hal yang sama. "Artinya itu acara bukan acara tertutup, acara resmi dan mereka (Sumarno dan Mimah) berhak untuk tahu aturan maka dia (internal Ahok) mengundang, toh pihak sebelah sana (Anies) juga berhak mengundang, ya (Sumarno) harus datang juga," jelasnya.
Solusinya, Jimly menyarakan agar KPU dan Bawaslu terbuka apabila diundang dalam acara internal paslon. Timbulnya prasangka ketimpangan ini justru diharapkan Jimly dimanfaatkan oleh Sumarno dan Mimah Susanti untuk membuktikan kenetralitasan mereka.
"Jadi caranya dipastikan itu terbuka sehingga tidak kena, tidak dicurigai seakan-akan kepergok itu tadi ya, yang jelas kalau dua-duanya itu curiga itu bagus itu bagus artinya potensinya itu besar untuk dia (Sumarno) memang netral," tutupnya.(GN)