Pakar Hukum Pidana UI, Akhiar Salmi. |
Pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Akhiar Salmi menanggapi banyaknya sinyalemen kejanggalan dalam tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) terkait kasus penistaan agama dengan terdakwa Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Menurut Akhiar, soal dugaan intervensi, terutama politisasi hukum mungkin sulit dibuktikan. Tetapi publik bisa membandingkan dengan tuntutan pidana pada umumnya.
Akhiar berpandangan, apabila dibandingan dengan jaksa di kasus Jessica. Gregetnya begitu terasa, namun untuk yang kasus Ahok tidak terasa gregetnya. Kemudian masalah tuntutannya dengan Pasal 156, lanjut Akhiar, ada politik atau tidak ada, kalau segi hukum pidana, tuntutan percobaan itu belum ada sebelumnya, itu apakah keragu-raguan jaksa atau bagaimana.
Begitu juga dengan tuntutan jaksa di kasus penistaan agama lainnya. Menurut dia, jaksa menuntut hukuman maksimal bukan masa percobaan.
"Kenapa enggak dituntut maksimal? Yang lain kan maksimal. Baru ini setahu saya pidana yang dituntut percobaan. Saya tidak bisa bilang belum pernah ada dalam sejarah karena datanya enggak pegang, tapi paling enggak yang saya tahu," katanya menambahkan.
Dia mengatakan, sejatinya hakim belum tentu setuju dengan tuntutan jaksa. Tidak tertutup kemungkinan juga kalau hakim mengacu Pasal 156a, berbeda dengan jaksa yang menuntut dengan Pasal 156.
Kalau hakim yakin terdakwa bersalah, kata Akhiar, belum tentu juga Ahok dituntut masa percobaan. Bisa juga Ahok dipidana maupun dibebaskan dari tuntutan.
Kalaupun dipidana, putusan hakim bisa sama dengan tuntutan jaksa ataupun tidak. Yang penting, dia menambahkan, hakim tidak melebihi ketentuan undang-undang dalam menjatuhkan hukuman. Hakim bisa menjatuhkan hukuman lebih berat maupun lebih ringan dari tuntutan jaksa.